Diperkosa Hingga Hamil Oleh Teman Suamiku Sendiri

Media Fantasi - Diperkosa Hingga Hamil Oleh Teman Suamiku Sendiri

 

Diperkosa Hingga Hamil Oleh Teman Suamiku Sendiri
Diperkosa Hingga Hamil Oleh Teman Suamiku Sendiri

Pagi ini saat bau fajar masih lekat dan kokok ayam bersahutan di ujung sana, pelan aku melangkah masuk kedalam rumah dengan dada sesak dan beban hati yang sangat berat, aku bisa dengar rintihan dan teriakan istriku meminta tolong, tapi aku diam tak bergeming sembari menelan luka hatiku yang dalam.
Dadaku terasa tersobek-sobek di luar rumah namun aku harus terima resiko ini karna ini adalah keinginanku.
 
Di pintu depan, aku masih tidak tega mendengar Rintihan Rania, aku berdesih dan menyeka air mataku.
"Pecundang...," bisikku mengutuk diriku sendiri, entah apa yang ada dalam benakku kenapa bisa, Rencana busuk ini terfikir di benakku sebelumnya, tapi ini sudah terlanjur setidaknya aku tinggal menunggu kabar kehamilannya,
 
Aku seorang pria mandul, 4 Tahun pernikahan kami tak juga di karuniai Anak, aku sangat putus asa hingga hampir saja menceraikan istriku dan menyuruhnya pergi bersama pria lain, tapi karna dia sangat mencintaiku dia sangat marah jika kami bahas tentang itu.
 
Tiga bulan yang lalu, aku mendapat wasiat dari keluarga bahwa aku punya warisan dari pihak ayahku, yang sudah tak pernah ada kabar selama ini, ibuku hidup seorang diri membesarkanku selama ini, nyatanya saat di ujung nyawanya dia mencariku, Ayahku yang ternyata orang gedongan itu berwasiat, bahwa harta itu akan jatuh kepada cucu lelakinya, dan anak ayah dari istri pertamanya kebetulan tidak ada yang laki-laki, mereka tak merelakan semua harta itu di berikan padaku kecuali memang aku bisa memberi keturunan, mungkin karna mereka tau aku mandul mereka memberikan syarat itu.
Tentu saja, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Seumur Hidup aku di besarkan ibu, dalam keadaan jauh dari kata sederhana. bahkan setelah menikahpun aku harus bekerja kasar untuk membahagiakan Rania.
 
 
"Maafkan Aku Rania....., " lirihku dengan merintikkan air mata, lalu dengan berat hati aku dorong pintu dan berjalan kekamar.
 
"Aku tidak pantas lagi hidup. Lebih baik aku mati saja." ucap Rania, terdengar dari balik Dinding kamar. Mataku membulat dan bergegas menemuinya. Aku makin shock lagi saat ku lihat dia memegangi pisau.
"Rania...!" teriakku, Dia menoleh dan menangis histeris. Aku datang dan reflek peluk cium istriku itu.
"Mas, menjauhlah dariku. Aku tidak pantas lagi untukmu Mas!" tangisnya, aku makin mengeratkan pelukanku dan berdesih. ada rasa bersalah yang sangat besar. Tapi aku harus terima ini.
"Pergi Mas, lebih baik aku mati saja!" tangisnya lagi, aku mengibas tangan yang memegang pisau itu dan berkata.
 
"Tak apa sayang, Mas disini. Kamu jangan takut," ucapku sembari melirik tempat tidur yang berantakan. Aku meremas bahu istriku yang tanpa di balut kain itu ada sakit yang tak berdarah membayangkan ranjang ini kupersambahkan pada pria lain, aku memang pecundang ulung yang tak berguna, dia terus saja menangis histeris, dengan terbata ia coba berkata.
 
"Mas, Aku di per-kosa," capnya terbata lagi sesak, aku menghela nafas, sedangkan Rania makin histeris.
"Aku mohon bunuh aku mas! bunuh saja aku!" teriaknya memekik, aku coba menenangkannya dan berkata dengan melihat matanya.
 
"Siapa dia? apa aku mengenalnya?" lakonku, istriku itu mendegup tangis dengan air mata menghujan. Dia hanya bisa menggeleng.
 
"Aku tidak tau Mas, aku fikir kamu yang pulang semalam. Aku membukakan pintu untuknya," tangisnya tak berhenti. kembali aku mendekap istriku itu dan memeluknya erat.
"Tenang sayang, jangan takut. Aku tidak akan meninggalkanmu," bisikku, dia semakin menangis histeris.
"Aku tak pantas, jadi istrimu mas, pria lain tlah menjamahiku semalam hiks, aku mohon tolong lapor polisi. Pria itu harus di hukum mati! atau aku saja yang mati," ucapnya, aku hanya bisa mengelus pucuk kepalanya.
 
"Kamu tenang. Jangan menangis. Kita akan lapor polisi," bujukku.
Tiga bulan berlalu, istriku tampak sangat trauma sekali semenjak hari itu dia tidak mau keluar rumah dan bahkan tak bisa untuk tersenyum, dia hanya menunggu info dari kepolisian bahwa pria itu sudah di tangkap apa belum, karna dia sangat takut jika suatu saat pria itu kembali lagi. Dan semenjak hari itu juga dia tak mau sendirian dirumah, rumah kami terbilang sepi karna cukup jauh dari pemukiman, rumah peninggalan ibuk yang ia dirikan di tengah kebunnya, butuh jarak 200meter jika kami temui pemukiman yang ramai, dengan begitu aku bisa melancarkan niatku waktu itu,
Pria muda itu aku temukan di tempat club. 
Aku juga tau untuk mendapatkan bibit yang bagus aku memilih pria yang berparas. setidaknya, Aku dapat anak yang bagus juga, Terdengar konyol memang tapi ini tindakan dari keputusasaanku yang tidak berguna jadi laki-laki, Tak ada yang bisa aku lakukan sekarang selain menunggu kabar kehamilannya Rania sembari tetap menghiburnya agar dia bisa normal kembali seperti dulu.
 
 
Namun pagi ini, aku di buat shock. Karna Rania datang bulan.
"Sayang kamu haid?" tanyaku saat kembali dari kamar mandi aku melihat bungkus pembalut di tong sampah. dengan lesu dan sedikit tersenyum tipis dia mengangguk.
 
"Iya mas, syukurlah. Padahal sebelumnya aku sangat takut," ucapnya. aku tersenyum canggung dan berkata. Rania berdiri dan memelukku.
 
"Mas, Terima kasih. Karna kamu masih mau bersamaku," ucapnya sembari menangis membenamkan wajahnya didadaku. Perlahan aku elus tengkuknya lembut.
 
"Ya sayang. Aku sudah lapor polisi mereka akan cari sampai ketemu," singkatku, kembali aku menghela nafas.
 
"Duniaku terasa berhenti Mas, Jika kamu keberatan dan tak sanggup bisa buang aku. Atau bunuh saja aku," tangisnya, aku hanya diam mengelus kepalanya
"Bagaimana ini, Rania tidak juga hamil karna hasil malam itu. Ini semua sudah terlanjur, dan rencanaku tidak berhasil. Apa aku harus lancarkan misi ini sekali lagi? tapi untuk Trauma yang ini saja. Rania belum bisa hilangkan," batinku di hati.
 
"Tapi, ini sudah terlanjur. Misi ini harus berhasil, Bagaimanapun Rania harus hamil!"
Malam ini aku Ingin temui Vero untuk kedua kalinya, mungkin dia masih menunggu kabar dariku untuk bayaran. Karna memang jika untuk bisa masuk kerumah mewah itu aku harus pastikan Rania hamil dulu, Syarat nyeleneh dari ibu tiri itu membuat kepalaku pusing. Aku bahkan belum punya bayaran untuk Vero dan bahkan tidak bisa mendapatkan uang juga dari pengacara papa.
 
Setelah bersusah payah membujuk Rania untuk tinggal dirumah, akhirnya aku bisa berangkat juga dan menitipkannya pada kenalan Rania yang masih dalam desa yang sama.
 
Kerlap kerlip lampu dari ruangan Club malam itu membuat aku susah menemukan Vero, Aku menunggu untuk beberapa saat hingga aku dapati dia tengah mengobrol dengan tongkrongannya, melihat aku disitu dia tampak semringah meletakkan botol alkohol dan berdiri meyambutku.
 
"Gue sangat menunggu kabar dari lo Danu," ucapnya mendekat, aku menghela nafas dan dia mendekat sembari menggapai pundakku memintaku duduk, aku menghenyak dan melirik sekitar.
 
"Jadi mana? bayarannya? inget, Anak Lo itu akan sangat lucu dan tampan. Begini-begini gue keturunan Filipina Loh." Songkaknya menyisir belahan rambutnya. Aku menghela nafas dan berkata padanya.
"Dia belum hamil," singkatku, sedikit matanya terbuka dan bibirnya bermain, terdengar pria itu terkekeh dan menggut-manggut dengan nada sesak.
 
"Ya kali, bisa hamil satu kali aja," ucapnya pelan dan terbata. Aku mengepal jemariku kesal dan coba bicara dengan berat.
 
"Bagaimanapun caranya, dia harus hamil," ucapku tertatih walau hatiku tersayat sangat hebat, pria itu hanya nanar, dan setelah itu tertawa terbahak-bahak.
 
"Oh Tidak gue bahkan di bayar dalam pekerjaan semudah ini." girangnya, aku mendegup dan meremas kemejanya kesal.
 
"Kali ini tolong lakukan tugasmu dengan baik! kamu tau. Ini tidak mudah bagiku!" hardikku. Dia tersenyum kecut melihat netraku yang merah. Kesal itu, ia tepiskan tanganku dan memperbaiki kerah bajunya, dia hanya bisa geleng-geleng sembari tak habis pikir.
 
"Istri lo gak akan hamil, jika dia dalam keadaan tertekan begitu. Lo fikir gampang apa," ucapnya, aku berfikir sejenak, mental Rania juga belum pulih dia masih terlalu trauma akan kejadian itu.
 
"Lo bisa tinggalin dia untuk beberapa hari dan tinggalin dia sama gue," ucapnya santai sembari menenguk alkohol. Jantungku terasa bergemuruh, dan aku gemetar.
 
Beberapa hari bagaimana bisa, Malam itu saja aku mengutuk diriku hingga pagi.
"Gimana?" tanya vero lagi. Aku masih diam.
"Lo lucu bro. istri lo itu gak akan dapat menerima dengan mudah, secara dia bukan sama seperti jalang-jalang yang ada disiini," ucapnya aku mendegup.
 
"Lagian lo kenapa gak program bayi tabung aja?"
"Kalo gua punya duit sekarang, kenapa harus gue janjian duitnya sama lo nanti. Saat gue dah bisa masuk kerumah itu," hardikku, Vero sedikit mencibir dan menaikkan alisnya.
 
"Oh begitu, gue juga ingin cepat selesai. Gue juga butuh duit soalnya, tenang aja. kalo lo udah jadi gedongan. Gua masih terima jasa anak kedua ke tiga dan seterus-" ucapnya terhenti saat aku menatapnya penuh amarah. Pria itu nyengir
 
"Okey, Gak usah." Bisiknya sedikit garuk tengkuk, aku hela nafas, dan netraku coba menahan kumpulan air bening yang mengepul.
 
Keesokan harinya, setelah bicara dengan Vero semalam membuat aku dilema dan kalud yang begitu dalam, Aku harus lakuin ini karna gak bisa menunggu lagi, semalam setelah keluar dari club aku dikabari pengacara papa, bahwa dalam enam bulan tidak ada kabar istriku hamil, mereka tidak akan berikan hakku, aku harus lakuin ini.
 
 
"Mas, Kamu kenapa melamun?" Tanya Rania, Aku tersintak dan reflek menoleh.
"Gak apa-apa sayang. Oh iya Ran, Kita mungkin butuh piknik, akhir-akhir ini terlalu banyak masalah yang menguras tenaga," ucapku, dia mengirinyitkan dahi dan berkata.
"Tapi Mas, untuk kasusnya hingga detik ini aku belum dapat panggilan dari polisi tuh sebagai saksi. "
"Sayang...," bisikku mengelus pipinya.
 
"Pak polisi gak akan nanya- nanya kamu. Aku gak mau kamu terekspos publik dan itu aib buat keluarga kita. Sekarang kita coba ikhlasin aja ya. kamu tenang saja. Aku akan tetap bersamamu," ujarku, dia tampak terhanyuh dan menangis memelukku, tanganku tergerak untuk mengelus bahunya pelan.
"Aku mau bawa kamu berlibur. kebetulan Mas Resign dan ada duit tunjangan, kita bisa berlibur mungkin kemana," ucapku, Rania sedikit beringsut dan berkata.
 
"Kenapa Mas Resign dari kerja?"
"Mas hanya ingin punya banyak waktu bersama kamu sayang, untuk kedepannya kita cari ide usaha baru ya, " ujarku, Rania terlihat lesu. Namun aku hanya bisa mengelus pipinya.
Kamu bersiap-siap untuk pergi, dengan bajet yang ada di kantongku, aku haya bisa menyewa kamar hotel di kawasan ancol untuk membawa Rania berlibur.
 
POV RANIA.
"Bagaimana kamu suka dengan tempat ini?" tanya Mas Danu, aku tersenyum, suamiku itu mendekap dalam pelukan.
 
"Maaf ya, Mas hanya bisa ajak kamu berlibur di tempat seperti ini. Suatu hari nanti kita akan pesan hotel yang lebih bagus dan bahkan di luar negri," ucapnya, aku mengangguk dan menatap wajahnya dengan penuh Cinta, sedikit priaku itu mengibaskan senyum hangat.
 
"Ini jauh lebih indah dari rumah kita, ini adalah liburan termewah, pesanku cuma satu Mas. Kita gak boleh boros. Cukup sekali saja kita kesini ya," ucapku, Mas Danu terkekeh.
 
"Ya sayang, sesekLi tapi kali ini. Aku ingin bersamamu disini seminggu. Mungkin suasana romantis dan suasana disini membuahkan hasil untuk harapan kita selama ini," ucapnya, aku mengangguk pelan dengan rasa haru.
 
"Semoga sayang," bisikku.
Malam pun tiba, setelah menghabiskan seharian di pantai, aku dan mas Danu kembali kekamar hotel, setelah membersihkan diriku di kamar mandi. Aku keluar kamar, Mas Danu tampak menyeduh dua coffe dan memberikannya padaku.
 
 
"Sayang, ayo kita minum coffe hangat di balkon," pintanya, aku mengangguk sembari mengibas rambut basahku dengan handuk, setelah memakai pakaianku, dan sedikit berhias aku menemuinya.
"Ayo sayang. Ini keburu dingin cofenya," Panggilnya, akupun bergegas.
"Iya mas."
 
Dua jam berlalu, kepalaku terasa pusing dan sangat mengantuk sekali, aku berdesih dan memijat kepalaku.
"Rania? kamu kenapa?"
"Mas aku pusing,"sahutku. Mas Danu menggendongku ke atas ranjang dan berkata.
"Kamu tunggu disini ya, mas mau beli obat," ucapnya aku meganggguk, dia mengecup keningku lama dan mengenggam tanganku untuk sejenak aku melihat binar mata yang seolah berat meninggalkanku.
"Kamu tunggu disini...," singkatnya dan beranjak.
"Mas, cepatlah kembali," bisikku sembari kepalaku cenat-cenut. Mas Danu mengangguk dan bergegas pergi.
 
Hingga setengah jam , kepalaku terasa sangat pusing, pandangan mataku kabur, bisa aku rasakan ruangan ini perlahan bergerak berputar.
"Aku ngantuk, tapi pusing juga," lirihku coba menyibak sedikit selimut dan turun hendak mencari minyak angin. Aku teringat ada ditasku.
 
 
Trakt..
Pintu kamar terbuka, Bisa aku lihat pria berdiri di pintu, namun entah kenapa aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karna pandanganku kabur.
 
"Mas, kamu sudah kembali?" bisikku memejamkan mata sembari memegang kepalaku yang mulai terasa berat pandanganku mulai gelap dan aku lemah terjatuh, Mas Danu datang mendekap dan menintinku keatas ranjang, aku berusaha sadar dan melihat wajah Mas Danu dari dekat, namun entah kenapa aku melihat pria itu, aku beronta namun pandanganku semakin kabur dan aku tidak ingat apa-apa lagi setelah terjatuh dalam pelukannya.

Posting Komentar